RAWA

1. Pendahuluan.

Daerah rawa dapat didefinisikan sebagai daerah yang selalu tergenang atau pada waktu tertentu tergenang karena jeleknya ataupun tidak adanya sistem drainasi alami. Tempat terjadinya daerah rawa tidak dibatasi oleh ketinggian (elevasi) lahan. Di tempat yang tinggipun dapat ditemukan daerah rawa di daerah depresi geologis. Genangan air di daerah depresi ini terjadi karena terkumpulnya limpasan air hujan pada cekungan tersebut, sirkulasi air dapat terjadi karena adanya evaporasi dan tambahan lewat air tanah. Daerah rawa mempunyai arti penting secara hidrologis bagi lingkungan fisik sistem hidrologi sungai. Daerah rawa di suatu daerah genangan banjir sungai, dapat berfungsi sebagai filter yang dapat menjernihkan air sebelum masuk ke sungai. Air limpasan dari daerah lebih tinggi mengalir masuk ke daerah rawa, karena adanya tumbuh-tumbuhan di daerah rawa tersebut, kecepatan aliran menjadi kecil yang mengakibatkan terendapkannya sedimen suspensi, oleh karena itu pada waktu meninggalkan daerah rawa, air tersebut sudah menjadi lebih jernih. Air tawar di daerah rawa adalah tempat berkembang-biaknya berbagai macam jenis ikan dan burung dan merupakan sumber air minum bagi binatang buas pada saat musim kemarau terutama pada saat terjadi kekeringan. Dearah rawa juga dapat berfungsi sebagai reservoir air yang dapat menjaga keberadaan air tanah di daerah di atasnya. Rawa adalah lahan dengan kemiringan relatif datar disertai adanya genangan air yang terbentuk secara alamiah yang terjadi terus-menerus atau semusim akibat drainase alamiah yang terhambat serta mempunyai ciri fisik: bentuk permukaan lahan yang cekung, kadang-kadang bergambut, ciri kimiawi: derajat keasaman airnya terendah dan ciri biologis: terdapat ikan-ikan rawa, tumbuhan rawa, dan hutan rawa. Rawa dibedakan kedalam 2 jenis, yaitu: rawa pasang surut yang terletak di pantai atau dekat pantai, di muara atau dekat muara sungai sehingga oleh pasang surutnya air laut dan rawa non pasang surut atau rawa pedalaman atau rawa lebak yang terletak lebih jauh jaraknya dari pantai sehingga tidak dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut.

Di Indonesia, lahan rawa diperkirakan seluas 33,4 juta ha, sekitar 60 % (20 juta Ha) diantaranya merupakan lahan rawa pasang surut dan 40 persen selebihnya (13,4 juta Ha) adalah lahan rawa non pasang surut. Dari hasil survey tahun 1984, seluas 9 juta Ha 0dari lahan rawa pasang surut diidentifikasikan potensial untuk pengembangan pertanian.Sampai saat ini, sekitar 3,9 juta Ha dari lahan rawa dengan lokasi yang sebagian terbesarnya tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, telah direklamasi, utamanya untuk pengembangan lahan pertanian. Lebih dari 60 persen diantaranya (2,4 juta Ha) dikembangkan secara swadaya sebagai lahan pertanian oleh para petani pendatang dan penduduk lokal. Seluas kurang lebih 0,2 juta ha lainnya dikembangkan oleh swasta untuk perkebunan kelapa. Selebihnya sekitar 1,3 juta ha adalah lahan rawa yang semenjak awal tahun 70-an telah dikembangkan oleh pemerintah sebagai lahan pertanian dan permukiman dalam rangka menunjang program transmigrasi.

Pengembangan lahan pasang surut yang dilaksanakan yang dilaksanakan pemerintah pada tahap awal (tahap I) berupa pembangunan sistem drainasi terbuka, tanpa bangunan pengendali aliran air, dilengkapi dengan penyiapan lahan, rumah-rumah, jaringan jalan, jembatan, sekolah dan sarana kesehatan. Pada mulanya lahan ini menunjukkan produksi padi di sawah yang cukup tinggi, namun dalam perkembangan selanjutnya sistem drainasi yang sudah ada tidak segera diikuti dengan pembuatan pintu pengatur air, sehingga degradasi lahan mulai berjalan. Terjadinya drainase berlebihan, tidak hanya membawa bahan toksik tetapi juga membawa hara dan mineral lainnya. Akhirnya lahan menjadi bongkor ditinggalkan petani, karena sawahnya memberikan hasil sangat rendah atau sama sekali tidak menghasilkan. Selain karena lahan tidak produktif, atau sistem tata air tidak mendukung, ada beberapa petani yang meninggalkan lahannya, karena hasil produksi pertaniannya tidak mendatangkan keuntungan yang cukup.

Untuk menghindari kerusakan lingkungan yang semakin parah dan menjadikan lahan tersebut menjadi produktif lagi untuk pertanian, perlu adanya upaya rehabilitasi. Disamping perencanaan, pengelolaan dan pemanfaatan yang sebaik-baiknya, pengembangan lahan rawa memerlukan penerapan teknologi yang sesuai, pengelolaan tanah dan air yang tepat. Pemanfaatan yang serta pengelolaan yang serasi sesuai dengan karakteristik, sifat dan kelakuannya serta pembangunan prasarana, sarana pembinaan sumber daya manusia dan penerapan teknologi spesifik lokasi

diharapkan dapat mengubah lahan tidur (bongkor) menjadi lahan produktif.

Pada periode 1985-1995 hampir tidak ada proyek pembukaan lahan rawa baru yang dilaksanakan oleh pemerintah indonesia, pada periode itu fokusnya lebih ditujukan kepada penyempurnaan (fase II) prasarana pengairan, prasarana ekonomi dan sosial lainnya pada kawasan reklamasi yang sudah dikembangkan sebelumnya. Pada tahun 1996, Pemerintah Indonesia melaksanakan pembukaan lahan rawa besar-besaran di Kalimantan Tengah yang kemudian dikenal sebutan PLG 1 juta Ha, yang kebanyakan kawasannya berada di daerah bantaran air sungai. Proyek ini mendapatkan tantangan yang sangat kuat dari para pembela lingkungan hidup, karena proyek ini berusaha mengembangkan lahan bergambut tebal yang diperkirakan akan merusak sistem konservasi sumber daya air. Diperkirakan para perencanaan proyek ini tidak didukung oleh data yang akurat dan pengetahuan yang sepadan dalam pengembangan daerah rawa. Proses reklamasi rawa yang berupa proses pengatusan genangan air beserta akibatnya (oksidasi pirit, subsidence, irreversibility tanah gambut) merupakan proses membahayakan dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama, kiranya kurang dipertimbangkan pada proses perencanaan, sehingga mengakibatkan beberapa kegagalan pertanian yang menyengsarakan petani.

Dengan semakin meningkatnya kebutuhan untuk meningkatkan produksi pangan, seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan semakin terbatasnya lahan kering yang potensial untuk lahan pertanian, maka dimasa mendatang akan menjadi keniscayaan bagi pemerintah untuk memikirkan kembali perlunya pembukaan lahan pertanian baru di daerah reklamasi rawa. Upaya ke arah ini layak ditempuh bersamaan dengan pengembangan tahap II ataupun tahap III dari kawasan reklamasi yang sudah dikembangkan sebelumnya.




2. Daerah Rawa Pasang Surut

Daerah rawa dapat didefinisikan sebagai daerah yang secara permanen atau temporal tergenang air karena tidak adanya sistem drainasi alami serta mempunyai ciri-ciri khas secara fisik, kimia dan biologis. Menurut jenisnya lahan rawa dibagi menjadi Rawa Pasang Surut (RPS) dan rawa non pasang surut (RNPS). Jika ditinjau dari jangkauan luapan air pasang, sebagai akibat terjadinya pasang surut air laut, lahan rawa dibedakan menjadi empat tipe luapan yaitu:

Rawa Tipe Luapan A, Rawa dalam klasifikasi ini merupakan rawa yang selalu terluapi oleh air pasang tertinggi karena pengaruh variasi elevasi pasang surut air sungai, baik pasang tertinggi saat musim kemarau maupun musim penghujan.

Rawa Tipe Luapan B, Rawa yang termasuk dalam kategori ini ialah rawa yang kadangkadang (tidak selalu terluapi) oleh air pasang tinggi karena pengaruh pasang surut air sungai, paling tidak terluapi pada saat musim penghujan.

Rawa Tipe Luapan C, Daerah rawa (RPS) dalam kategori ini didefinisikan sebagai daerah rawa yang tidak pernah terluapi oleh air pasang tertinggi karena pengaruh variasi elevasi pasang surut air sungai, namun memiliki kedalaman muka air tanah tidak lebih dari 50 cm dari permukaan tanah.

Rawa Tipe Luapan D, Daerah rawa (RPS) ini adalah rawa yang menurut hydrotopografinya tidak pernah terluapi oleh air pasang tertinggi karena pengaruh variasi elevasi pasang surut air sungai, dan memiliki kedalaman air tanah > 50 cm dari permukaan tanah. Selain rawa pasang surut, terdapat juga rawa non pasang surut (RNPS). RNPS didefinisikan sebagai daerah rawa yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut air sungai. Daerah rawa ini merupakan lahan tanah berbentuk cekungan dan dalam musim hujan seluruhnya digenangi air.

Pada musim kemarau air tersebut berangsur-angsur kering bahkan kadang-kadang ada yang kering sama sekali selama masa yang relatif sangat singkat (1-2 bulan). Untuk daerah yang berada dekat dengan sungai, air yang menggenangai daerah rawa berasal dari luapan sungai disekitarnya, dan ada pula daerah rawa yang mudah tenggelam terus menerus akibat hujan sebelum melimpahkan airnya ke daerah sekitarnya.

Berdasarkan ketinggian hydrotopografi, RNPS atau rawa lebak dibagi menjadi:

1. Lebak Pematang : Memiliki topografi yang cukup tinggi, dimana jangka waktu tergenangnya relatif sangat pendek.

2. Lebak Tengah : Terletak diantara lebak pematang dan lebak dalam

3. Lebak Dalam : Memiliki topografi rendah sehingga jangka waktu tergenangnya relatif sangat lama (tergenang terus menerus).

Air yang ada di daerah rawa tersebut dapat berasal dari air hujan maupun luapan banjir dari sungai-sungai terdekat. Daerah rawa merupakan daerah yang mempunyai arti penting dalam menunjang aspek fisik lingkungan suatu daerah aliran sungai. Daerah rawa yang berada di suatu lembah sungai dapat berfungsi sebagai filter yang menjernihkan air sebelum masuk ke sungai, air yang mengalir dari daerah yang lebih tinggi mempunyai kecepatan yang kecil karena adanya hambatan dari tumbuhan sehingga sedimen dapat terendapkan. Air segar yang ada di rawa juga merupakan daerah tempat berkembangbiaknya ikan dan burung dan sumber air minum bagi binatang buas di musim kemarau. Selain itu, rawa juga berfungsi sebagai reservoir air yang dapat menjaga elevasi muka air daerah di atasnya maupun daerah genangan yang dapat meredam terjadinya banjir di daerah hilir. Oleh karena itu pengubahan daerah rawa menjadi daerah pertanian dengan pengembangan jaringan saluran akan mengusik suasana lingkungan tersebut. Untuk menghindari terjadinya degradasi lingkungan perlu dilakukan usaha perlindungan dan konservasi sebagian daerah rawa untuk keberlanjutan (sustainabilty) lingkungan. Ketidakmampuan sistem drainasi dan terjadinya akumulasi air tanah dan air permukaan mengakibatkan terjadinya akumulasi sedimen dan garam-garam yang terlarut. Deposit sedimen ini bervariasi jenisnya tergantung pada jenis sumber batuan atau tanah asalnya. Jenis tanah yang biasa ditemui di daerah rawa adalah tanah aluvial, tanah organik (gambut) dan tanah mineral yang belum matang. Di daerah rawa yang dekat dengan pantai, sering ditemui tanah mineral yang mengandung pirit (FeS) yang apabila teroksidasi akan menghasilkan asam sulfat yang berbahaya bagi tanaman. Demikian pula genangan yang menerus dan kondisi anaerobe menghambat proses pematangan tanah. Usaha pemanfaatan daerah rawa menjadi lahan pertanian perlu mempertimbangkan kemungkinan dilakukannya pencucian bahan toxic dan oksidasi guna proses pematangan tanah. Daerah rawa ditinjau dari besar-kecilnya pengaruh pasang-surut air sungai dibedakan atas daerah rawa pasang-surut dan non pasang surut. Daerah rawa pasang-surut adalah daerah rawa yang sistem drainasi atau sistem pemberian airnya dipengaruhi oleh gerakan pasang-surut muka air sungai terdekat.

1 komentar:

Energi dari Alam Energi dari Gelombang Radio Komunikasi mengatakan...

Penemuan terbaru bahan kimia yang lebih keras dari aspal dan Batu, bentuk bubuk bisa dilarutkan dalam air, 1 sak 25 kg, harga per kg Rp. 650.000,-, 1kg untuk 1m3 tanah,

tanah bila disiram larutan ini kemudian akan mengeras langsung menjadi B...atu dan lebih kuat 10 kali dari Batu,
aditif pengeras beton,hardener beton,obat beton,pengeras beton,aditif ...percepat pengeras beton,

cocok untuk mengeraskan Tanah Rawa

Minat mencoba hubungi saya Ferdi 085649842128


================================================

Posting Komentar